WAWANCARA GUS DUR DI ISLAMLIB.COM
Kutipan:
Wawancara
KH. Abdurrahman Wahid:
Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!
10/04/2006
JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat nonmuslim?
Ya itulah’ Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan
pihak yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus
kita jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini, dalam istilah bahasa
Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih... Dan
persoalannya itu-itu saja.
JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat
kita?
Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk
mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari
waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul.
Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki. Sekarang standar moralitas
memang sudah berubah. Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau
menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini harus
ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari
perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian
orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan
kecabulan.
JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu‘aththar (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu
merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu,
kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha’ Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab-kitab itu
dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi
Kultsum’penyanyi legendaris Mesir’bisa sambil teriak-teriak ‘Allah’ Allah’’ Padahal isi lagunya kadang
ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi
16
cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca. Saya mau cerita.
Dulu saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya
diundang Prof. Husein Al-Attas untuk membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya
ributnya dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di Universitas Islam Internasional
Malaysia. Menurut dia, yang disebut karya sastra Islam itu harus sesuai dengan syariat dan etika Islam.
Karya-karya yang menurutnya cabul bukanlah karya sastra Islam. Saya tidak setuju dengan pendapat itu.
Kemudian saya mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, berjudul Zuqaq Midaq (Lorong
Midaq), yang mengisahkah pola kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. Tokoh sentralnya adalah
seorang pelacur. Dan pelacur yang beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya dari novel itu.
Apakah buku itu tidak bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan kehidupan seorang
pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak
diakui sebagai sastra Islam.
JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam,
karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?
Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa
terkekeh-kekeh).
JIL: Maksudnya?
Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari
dalam InJIL kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini.
Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha’
JIL: Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena itu orang bikin aturan soal
aurat perempuan lewat perda-perda?
Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun belum tentu kalau yang disebut aurat
itu kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan
minimal itu salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah: menyamakan batasan maksimal dan
minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara pandang yang salah. Kemudian, yang disebut
aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara’
tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda
lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian’ ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi.
Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.
Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu tidak benar. Katanya, perempuan
bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah’ saya tiap pagi
selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua
salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha..
Oleh karena itu, kita harus hati-hati. Melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual.
Perempuan itu sama dengan laki-laki; sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja,
apalagi cuma aspek seksualnya.
JIL: Gus, saat ini marak konflik Sunni-Syiah di Irak. Banyak masjid dibom dan antar muslim saling
berseteru. Sebenarnya, bagaimana asal-muasal sejarah konflik Syiah-Sunni?
Konflik itu muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada
kita, dulu muncul peristiwa penganiaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak
cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung
atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syi‘ah. Selanjutnya kata syi‘ah ini menjadi sebutan dan
identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan
pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni.
Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun
doktrin agama dibawa-bawa. Maka dari itu, janganlah bawa-bawa agama dalam masalah politik. Jadinya
akan seperti itu; campur-aduk tidak karuan. Kaum Syiah, tidak terima dengan penindasan itu, dan mereka
terus-menerus menyusun kekuatan dan ingin merebut kekuasaan. Dan waktu itu pula, kekuasaan Islam
dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Sunni yang sangat kejam dan memusuhi Syiah, seperti Khalifah
Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Contoh dari kekejaman dia adalah melakukan pembantaian terhadap
Husein bin Ali berserta keluarga dan pengikutnya di Padang Karbala. Bayangkan, padahal Husein adalah
cucu Rasulullah dan putra Ali bin Abi Thalib.
Yazid juga mengangkat seorang gubernur Irak yang sangat kejam, namanya Yusuf Hajjaj al-Tsaqafi. Nah,
penindasan terhadap kaum Syiah berlangsung selama berabad-abad, dan alasannya lebih karena soal
kekuasaan. Salah satu jalan keluar dari konflik ini adalah: jangan bawa-bawa agama dalam persoalan
politik. Dan persoalan hubungan Syiah dan Sunni di Irak mestinya dilihat sebagai problem politik, bukan
problem agama.
18
JIL: Jadi konflik itu bisa dianggap konflik politik yang dijubahi agama?
Iya. Menurut saya, klaim teologis tidak bisa jadi klaim politik. Kalau ini disepelekan, akan terjadi seperti
yang kita saksikan saat ini. Misalnya, kaum Syiah mengatakan bahwa garis kepemimpinan (politik) hanya
ada pada keturunan Nabi. Kalangan Syiah juga menganggap mereka maksum (tidak bisa salah). Di pihak
lain, ada pendapat yang berusaha menafikan keturunan nabi, bahkan memusuhi, karena dianggap
berpotensi merebut kekuasaan.
Kalau saya sih mudah-mudah saja; berada di antara dua pendapat di atas. Saya cukup menghormati
keturunan Nabi. Demikian juga sikap NU; dua pendapat ekstrem itu tidak diikuti. Tegasnya, kami
memiliki tradisi mencintai keturunan Nabi, bukan semata-mata karena soal ketertundukan (the degree of
obedience) politik. Apakah harus tunduk secara politik pada keturunan Nabi itu menjadi kewajiban agama
atau tidak? Kelompok yang menganggap ketundukan itu bagian dari agama disebut Syiah, sementara yang
menganggapnya sebagai persoalan sosiologis, disebut Sunni. Nah, dalam Sunni ini ada yang kadar
sosiologisnya dalam melihat persolan kuat, dan ada juga yang tidak.
JIL: Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada kelompok-kelompok yang sangat rajin
melakukan tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding
melakukan penodaan atau penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya bagaimana?
Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam. Tidak bisa melakukan penghakiman
dan kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat
orang. Tidak ada itu yang namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan itu soal batin manusia,
sementara kita hanya mampu melihat sisi lahirnya. Nabi saja bersabda, nahnu nahkum bil dlaw’hir walL’h
yatawalla al-sar’ir (kami hanya melihat sisi lahiriah saja, dan Allah saja yang berhak atas apa yang ada di
batin orang, Red). Sejak dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim diri
sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela!
JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan,
Gus?
Begini ya’ Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam melihat persoalan keberagamaan
dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan
santri. Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka ini
biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas, kita mau menyebut golongan
kedua ini kafir? Tidak benar itu!
Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini. Saya baru yakin ketika
mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru
paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam.
Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini:
Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma
bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot.
Kutipan:
Wawancara
KH. Abdurrahman Wahid:
Jangan Bikin Aturan Berdasarkan Islam Saja!
10/04/2006
JIL: Kalau syariat Islam diterapkan di Indonesia secara penuh, bagaimana kira-kira nasib masyarakat nonmuslim?
Ya itulah’ Kita tidak bisa menerapkan syariat Islam di Indonesia kalau bertentangan dengan UUD 45. Dan
pihak yang berhak menetapkan aturan ini adalah Mahkamah Agung. Hal ini menjadi prinsip yang harus
kita jaga bersama-sama. Tujuannya agar negeri kita aman. Jangan sampai kita ini, dalam istilah bahasa
Jawa, usrek (Red: ribut) terus. Kalau kita usrek, gimana mau membangun bangsa? Ribut mulu sih... Dan
persoalannya itu-itu saja.
JIL: Bagaimana dengan barang dan tayangan erotis yang kini dianggap sudah akrab dalam masyarakat
kita?
Erotisme merupakan sesuatu yang selalu mendampingi manusia, dari dulu hingga sekarang. Untuk
mewaspadai dampak dari erotisme itu dibuatlah pandangan tentang moral. Dan moralitas berganti dari
waktu ke waktu. Dulu pada zaman ibu saya, perempuan yang pakai rok pendek itu dianggap cabul.
Perempuan mesti pakai kain sarung panjang yang menutupi hingga matakaki. Sekarang standar moralitas
memang sudah berubah. Memakai rok pendek bukan cabul lagi. Oleh karena itu, kalau kita mau
menerapkan suatu ukuran atau standar untuk semua, itu sudah merupakan pemaksaan. Sikap ini harus
ditolak. Sebab, ukuran satu pihak bisa tidak cocok untuk pihak yang lain. Contoh lain adalah tradisi tari
perut di Mesir yang tentu saja perutnya terbuka lebar dan bahkan kelihatan puser. Mungkin bagi sebagian
orang, tari perut itu cabul. Tapi di Mesir, itu adalah tarian rakyat; tidak ada sangkut-pautnya dengan
kecabulan.
JIL: Jadi erotisme itu tidak mesti cabul, Gus?
Iya, tidak bisa. Anda tahu, kitab Rawdlatul Mu‘aththar (The Perfumed Garden, Kebun Wewangian) itu
merupakan kitab bahasa Arab yang isinya tatacara bersetubuh dengan 189 gaya, ha-ha-ha.. Kalau gitu,
kitab itu cabul, dong? ha-ha-ha’ Kemudian juga ada kitab Kamasutra. Masak semua kitab-kitab itu
dibilang cabul? Kadang-kadang saya geli, mengapa kiai-kiai kita, kalau dengerin lagu-lagu Ummi
Kultsum’penyanyi legendaris Mesir’bisa sambil teriak-teriak ‘Allah’ Allah’’ Padahal isi lagunya kadang
ngajak orang minum arak, ha-ha-ha.. Sangat saya sayangkan, kita mudah sekali menuding dan memberi
16
cap sana-sini; kitab ini cabul dan tidak sesuai dengan Islam serta tidak boleh dibaca. Saya mau cerita.
Dulu saya pernah ribut di Dewan Pustaka dan Bahasa di Kuala Lumpur Malaysia. Waktu itu saya
diundang Prof. Husein Al-Attas untuk membicarakan tema Sastra Islam dan Pornografi. Nah, saya
ributnya dengan Siddik Baba. Dia sekarang menjadi pembantu rektor di Universitas Islam Internasional
Malaysia. Menurut dia, yang disebut karya sastra Islam itu harus sesuai dengan syariat dan etika Islam.
Karya-karya yang menurutnya cabul bukanlah karya sastra Islam. Saya tidak setuju dengan pendapat itu.
Kemudian saya mengulas novel sastrawan Mesir, Naguib Mahfouz, berjudul Zuqaq Midaq (Lorong
Midaq), yang mengisahkah pola kehidupan di gang-gang sempit di Mesir. Tokoh sentralnya adalah
seorang pelacur. Dan pelacur yang beragama Islam itu bisa dibaca pergulatan batinnya dari novel itu.
Apakah buku itu tidak bisa disebut sebuah karya Islam hanya karena ia menceritakan kehidupan seorang
pelacur? Ia jelas produk seorang sastrawan brilian yang beragama Islam. Aneh kalau novel itu tidak
diakui sebagai sastra Islam.
JIL: Gus, ada yang bilang kalau kelompok-kelompok penentang RUU APP ini bukan kelompok Islam,
karena katanya kelompok ini memiliki kitab suci yang porno?
Sebaliknya menurut saya. Kitab suci yang paling porno di dunia adalah Alqur’an, ha-ha-ha.. (tertawa
terkekeh-kekeh).
JIL: Maksudnya?
Loh, jelas kelihatan sekali. Di Alqur’an itu ada ayat tentang menyusui anak dua tahun berturut-turut. Cari
dalam InJIL kalau ada ayat seperti itu. Namanya menyusui, ya mengeluarkan tetek kan?! Cabul dong ini.
Banyaklah contoh lain, ha-ha-ha’
JIL: Bagaimana dengan soal tak boleh membuka dan melihat aurat dan karena itu orang bikin aturan soal
aurat perempuan lewat perda-perda?
Menutup aurat dalam arti semua tubuh tertutup itu baik saja. Namun belum tentu kalau yang disebut aurat
itu kelihatan, hal itu tidak baik. Aurat memiliki batasan maksimal dan minimal. Nah bukan berarti batasan
minimal itu salah. Kesalahan RUU yang ingin mengatur itu adalah: menyamakan batasan maksimal dan
minimal dalam persoalan aurat. Sikap itu merupakan cara pandang yang salah. Kemudian, yang disebut
aurat itu juga perlu dirumuskan dulu sebagai apa. Cara pandang seorang sufi berbeda dengan ahli syara’
tentang aurat, demikian juga dengan cara pandang seorang budayawan. Tukang pakaian melihatnya beda
lagi; kalau dia tak bisa meraba-raba, bagaimana bisa jadi pakaian’ ha-ha-ha.. Batasan dokter beda lagi.
Kerjanya kan ngutak-ngutik, dan buka-buka aurat, itu, he-he-he.
Saya juga heran, mengapa aurat selalu identik dengan perempuan. Itu tidak benar. Katanya, perempuan
bisa merangsang syahwat, karena itu tidak boleh dekat-dekat, tidak patut salaman. Wah’ saya tiap pagi
selalu kedatangan tamu. Kadang-kadang gadis-gadis dan ibu-ibu. Itu bisa sampai dua bis. Mereka semua
salaman dengan saya. Masak saya langsung terangsang dan ingin ngawinin mereka semua?! Ha-ha-ha..
Oleh karena itu, kita harus hati-hati. Melihat perempuan tidak boleh hanya sebagai objek seksual.
Perempuan itu sama dengan laki-laki; sosok makhluk yang utuh. Jangan melihatnya dari satu aspek saja,
apalagi cuma aspek seksualnya.
JIL: Gus, saat ini marak konflik Sunni-Syiah di Irak. Banyak masjid dibom dan antar muslim saling
berseteru. Sebenarnya, bagaimana asal-muasal sejarah konflik Syiah-Sunni?
Konflik itu muncul akibat doktrin agama yang dimanipulasi secara politis. Sejarah mengabarkan pada
kita, dulu muncul peristiwa penganiaan terhadap menantu Rasulullah, Ali bin Abi Thalib dan anak
cucunya. Keluarga inilah yang disebut Ahlul Bayt, dan mereka memiliki pendukung fanatik. Pendukung
atau pengikut di dalam bahasa Arab disebut syi‘ah. Selanjutnya kata syi‘ah ini menjadi sebutan dan
identitas bagi pengikut Ali yang pada akhirnya menjadi salah satu firkah teologis dalam Islam. Sedangkan
pihak yang menindas Ali dan pengikutnya dikenal dengan sebutan Sunni.
Persoalan sesungguhnya waktu itu adalah tentang perebutan kekuasaan atau persoalan politik. Namun
doktrin agama dibawa-bawa. Maka dari itu, janganlah bawa-bawa agama dalam masalah politik. Jadinya
akan seperti itu; campur-aduk tidak karuan. Kaum Syiah, tidak terima dengan penindasan itu, dan mereka
terus-menerus menyusun kekuatan dan ingin merebut kekuasaan. Dan waktu itu pula, kekuasaan Islam
dipimpin oleh pemimpin-pemimpin Sunni yang sangat kejam dan memusuhi Syiah, seperti Khalifah
Yazid bin Mu’awiyah di Damaskus. Contoh dari kekejaman dia adalah melakukan pembantaian terhadap
Husein bin Ali berserta keluarga dan pengikutnya di Padang Karbala. Bayangkan, padahal Husein adalah
cucu Rasulullah dan putra Ali bin Abi Thalib.
Yazid juga mengangkat seorang gubernur Irak yang sangat kejam, namanya Yusuf Hajjaj al-Tsaqafi. Nah,
penindasan terhadap kaum Syiah berlangsung selama berabad-abad, dan alasannya lebih karena soal
kekuasaan. Salah satu jalan keluar dari konflik ini adalah: jangan bawa-bawa agama dalam persoalan
politik. Dan persoalan hubungan Syiah dan Sunni di Irak mestinya dilihat sebagai problem politik, bukan
problem agama.
18
JIL: Jadi konflik itu bisa dianggap konflik politik yang dijubahi agama?
Iya. Menurut saya, klaim teologis tidak bisa jadi klaim politik. Kalau ini disepelekan, akan terjadi seperti
yang kita saksikan saat ini. Misalnya, kaum Syiah mengatakan bahwa garis kepemimpinan (politik) hanya
ada pada keturunan Nabi. Kalangan Syiah juga menganggap mereka maksum (tidak bisa salah). Di pihak
lain, ada pendapat yang berusaha menafikan keturunan nabi, bahkan memusuhi, karena dianggap
berpotensi merebut kekuasaan.
Kalau saya sih mudah-mudah saja; berada di antara dua pendapat di atas. Saya cukup menghormati
keturunan Nabi. Demikian juga sikap NU; dua pendapat ekstrem itu tidak diikuti. Tegasnya, kami
memiliki tradisi mencintai keturunan Nabi, bukan semata-mata karena soal ketertundukan (the degree of
obedience) politik. Apakah harus tunduk secara politik pada keturunan Nabi itu menjadi kewajiban agama
atau tidak? Kelompok yang menganggap ketundukan itu bagian dari agama disebut Syiah, sementara yang
menganggapnya sebagai persoalan sosiologis, disebut Sunni. Nah, dalam Sunni ini ada yang kadar
sosiologisnya dalam melihat persolan kuat, dan ada juga yang tidak.
JIL: Kita kembali ke persoalan negeri kita. Sekarang ada kelompok-kelompok yang sangat rajin
melakukan tindak kekerasan, ancaman, intimidasi, dan lain-lain terhadap kelompok yang mereka tuding
melakukan penodaan atau penyimpangan agama. Gus Dur menanggapinya bagaimana?
Tidak bisa begitu. Cara itu tidak benar dan melanggar ajaran Islam. Tidak bisa melakukan penghakiman
dan kekerasan terhadap kelompok lain atas dasar perbedaan keyakinan. Siapa yang tahu hati dan niat
orang. Tidak ada itu yang namanya pengadilan terhadap keyakinan. Keyakinan itu soal batin manusia,
sementara kita hanya mampu melihat sisi lahirnya. Nabi saja bersabda, nahnu nahkum bil dlaw’hir walL’h
yatawalla al-sar’ir (kami hanya melihat sisi lahiriah saja, dan Allah saja yang berhak atas apa yang ada di
batin orang, Red). Sejak dulu, kelompok yang suka dengan cara kekerasan itu memang mengklaim diri
sedang membela Islam, membela Tuhan. Bagi saya, Tuhan itu tidak perlu dibela!
JIL: Kalau orang muslim tidak melaksanakan syariat Islam seperti salat atau ibadah wajib lain, diapakan,
Gus?
Begini ya’ Saya sudah lama mengenalkan beberapa istilah penting dalam melihat persoalan keberagamaan
dalam masyarakat kita. Golongan muslim yang taat pada masalah ritual, biasanya kita sebut golongan
santri. Namun ada golongan lain yang kurang, bahkan tidak menjalankan ritual agama. Mereka ini
biasanya disebut kaum abangan, atau penganut agama Kejawen. Lantas, kita mau menyebut golongan
kedua ini kafir? Tidak benar itu!
Saya baru saja yakin bahwa Kejawen itu Islam. Baru setengah tahun ini. Saya baru yakin ketika
mendengarkan lagu-lagunya Slamet Gundono (seorang dalang wayang suket kondang, Red). Saya baru
paham betul; ooh, begitu toh Kejawen. Inti ajarannya sama saja dengan Islam.
Bedanya ada pada pelaksanaan ritual keagamaan. Kesimpulannya begini:
Kejawen dan Islam itu akidahnya sama, tapi syariatnya berbeda. Penganut Kejawen itu Islam juga, cuma
bukan Islam santri. Gitu loh’ selesai, kan? Gitu aja repot.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar